Revisi Aturan Perlu Dipercepat, Iklan Rokok Kian Membelenggu Anak
JAKARTA — Pemerintah melalui regulasi yang ada belum mampu melindungi anak dari kepungan iklan rokok. Padahal, berbagai studi menunjukkan, iklan rokok amat memengaruhi anak untuk mulai merokok. Karena itu, sejumlah pihak mendesak adanya revisi aturan tentang pengendalian tembakau.
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari menilai, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah gagal menekan konsumsi rokok di masyarakat, terutama pada anak. Prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun justru mengalami peningkatan.
Hal itu tampak dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Prevalensi perokok anak naik dari 7,20 persen pada 2013 menjadi 9,10 persen pada 2018. Jumlah itu jauh lebih tinggi dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2018, yakni 5,40 persen. Jika tidak ada intervensi yang berarti, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan, prevalensi tersebut bisa terus naik menjadi 15,95 persen pada 2030.
”Penyebab kenapa prevalensi rokok pada anak terus meningkat karena regulasinya sangat lemah. Keterpaparan anak pada rokok juga masih tinggi. Anak kita mudah terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok, baik di dalam maupun luar ruangan, bahkan di internet lewat gadget mereka,” kata Lisda dalam pertemuan virtual bersama Redaksi Kompas di Jakarta, Senin (26/4/2021).
Penelitian pada anak dan remaja yang dilakukan Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan, pelajar di Indonesia melihat iklan rokok di berbagai tempat dan media. Sebanyak 60,9 persen pelajar mengaku melihat iklan rokok di luar ruang , 65,2 persen di tempat penjualan , 65,2 persen di televisi , 36,2 persen di internet, dan 23,9 persen di media cetak.
Hal itu perlu menjadi perhatian karena kepungan iklan rokok pada anak dapat memengaruhi perilaku merokok. Studi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka pada 2007 menyebutkan, sekitar 70 persen remaja mulai merokok karena terpengaruh iklan. Sebanyak 46,3 persen di antaranya bahkan menyatakan iklan memiliki pengaruh yang besar.
Penyebab kenapa prevalensi rokok pada anak terus meningkat karena regulasinya sangat lemah. Anak kita mudah terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok, baik di dalam maupun luar ruangan, bahkan di internet lewat gadget mereka.
Karena itu, Lisda menyampaikan, penguatan regulasi untuk membatasi iklan, promosi, dan sponsor rokok semakin mendesak. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan perlu segera direvisi.
Setidaknya ada empat substansi yang perlu direvisi. Pertama, pelarangan iklan, promosi di dalam dan luar ruangan, iklan rokok di internet, sponsor, penempatan produk rokok di tempat penjualan, serta iklan di televisi. Iklan di internet sampai saat ini belum diatur. Selain itu, batas waktu tayangan iklan di televisi didorong untuk dimulai pada pukul 12 malam.
Kedua, larangan untuk penjualan rokok batangan. Ketiga, peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok diperluas menjadi 90 persen. Peringatan ini juga perlu diberlakukan pada kemasan rokok elektrik. Keempat, rokok elektrik harus segera diatur atau bahkan dilarang untuk dipasarkan di Indonesia.
Kepala Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Sumatera Barat Muharman menambahkan, revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 akan mendukung pemerintah daerah dalam merumuskan aturan turunan terkait dengan larangan iklan dan promosi rokok di wilayahnya. Ini termasuk pada larangan untuk produk rokok elektrik.
Ketua Yayasan Kakak Shoim Sahriyati menuturkan, selain melalui pendekatan regulasi, upaya perlindungan anak dari ancaman rokok juga perlu dilakukan melalui penguatan edukasi dan sosialisasi. Itu bisa dilakukan melalui pendekatan di sekolah dan di keluarga.
”Selain edukasi di sekolah, kampanye untuk tidak merokok juga kita lakukan lewat komunitas anak muda. Orangtua juga berperan penting untuk melakukan edukasi ini. Jadi, upaya untuk mencegah anak untuk merokok perlu dukungan dari semua pihak,” katanya.
Secara terpisah, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, komitmen untuk melanjutkan revisi PP No 109/2012. Strategi telah disusun untuk memperkuat regulasi tersebut, antara lain, terkait implementasi kawasan tanpa rokok, pelaksanaan pengendalian penjualan rokok, eliminasi iklan dan promosi rokok, edukasi bahaya merokok secara berkelanjutan, serta memperbesar peringatan bergambar pada kemasan rokok.
”Kita juga sudah menargetkan prevalensi merokok pada anak menurun menjadi 8,7 pada 2024. Revisi PP No 109/2012 menjadi satu cara untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok serta menurunkan prevalensi merokok di Indonesia, sekaligus mendukung intervensi penanganan Covid-19,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas, selasa 17 April 2021 (https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/26/revisi-aturan-perlu-dipercepat-iklan-rokok-kian-membelenggu-anak/)